Selama bulan Ramadhan kebutuhan akan
makanan atau minuman yang manis-manis akan meningkat, biasanya untuk dimakan/diminum
pada saat berbuka puasa ataupun sahur. Agar lebih praktis, biasanya ibu-ibu lebih
memilih membeli daripada membuat sendiri tanpa memperhatikan keamanan makanan
tersebut bagi kesehatan.
Di tingkat penjual, untuk menarik
minat pembeli biasanya makanan atau minuman tersebut disajikan pula dengan
aneka warna yang menarik, yang diluar kesadaran kita kadang-kadang
makanan/minuman tersebut mengandung kadar pewarna tambahan (aditif) yang
berdampak negatif pada kesehatan kita.
Makanan olahan seperti agar-agar, kue lapis, sirup, kue,
permen, minuman suplemen, dan es krim cenderung mengandung kadar pewarna
tambahan (aditif) yang tinggi. Pewarna tambahan, baik alami maupun buatan,
digunakan dalam industri makanan karena berbagai alasan, di
antaranya untuk:
ü mengimbangi
pemudaran warna karena paparan cahaya, udara, perubahan suhu dan kelembaban
ü memperbaiki
variasi warna
ü menguatkan
warna yang terjadi secara alami
ü mewarnai
bahan makanan yang tak berwarna
ü membuat
makanan lebih menarik sehingga mengundang selera
Beberapa
studi ilmiah telah mengaitkan penggunaan pewarna buatan dengan hiperaktivitas
pada anak-anak. Hiperaktivitas adalah suatu kondisi di mana anak mengalami
kesulitan untuk memusatkan perhatian dan mengontrol perilaku mereka.
Pada bulan November 2007, sebuah hasil penelitian yang
diterbitkan di jurnal medis terkemuka Lancet mengungkapkan
bahwa beberapa zat pewarna makanan meningkatkan tingkat hiperaktivitas anak-anak usia 3-9 tahun. Anak-anak
yang mengkonsumsi makanan yang mengandung pewarna buatan itu selama
bertahun-tahun lebih berisiko menunjukkan tanda-tanda hiperaktif. Selain
risiko hiperaktif, sekelompok sangat kecil dari populasi anak (sekitar
0,1%) juga mengalami efek samping lain seperti: ruam, mual, asma, pusing dan pingsan.
Berikut
adalah beberapa jenis pewarna buatan yang populer dan efek samping yang
ditimbulkan:
ü
Tartrazine (E102 atau
Yellow 5)
Tartrazine adalah pewarna kuning yang banyak
digunakan dalam makanan dan obat-obatan. Selain berpotensi meningkatkan
hiperaktivitas anak, pada sekitar 1- 10 dari sepuluh ribu orang ,tartrazine menimbulkan
efek samping langsung seperti urtikaria (ruam kulit),rinitis (hidung meler), asma, purpura
(kulit lebam) dan anafilaksis sistemik (shock).
Intoleransi ini tampaknya lebih umum pada penderita asma atau orang yang
sensitif terhadap aspirin.
ü
Sunset Yellow (E110, Orange Yellow S atauYellow
6)
Sunset Yellow adalah pewarna yang dapat
ditemukan dalam makanan seperti jus jeruk, es krim, ikan kalengan, keju, jeli,
minuman soda dan banyak obat-obatan. Untuk sekelompok kecil individu,
konsumsi pewarna aditif ini dapat menimbulkan urtikaria, rinitis, alergi, hiperaktivitas, sakit perut, mual, dan muntah.
Yellow.
ü
Ponceau 4R (E124 atau SX Purple)
Ponceau 4R adalah pewarna merah hati yang
digunakan dalam berbagai produk, termasuk selai, kue, agar-agar dan
minuman ringan. Selain berpotensi memicu hiperaktivitas pada anak, Ponceau 4R dianggap karsinogenik
(penyebab kanker). Pewarna aditif ini juga dapat meningkatkan serapan
aluminium sehingga melebihi batas toleransi.
ü
Allura Red (E129)
Allura Red adalah pewarna sintetis merah
jingga yang banyak digunakan pada permen dan minuman. Allura Red sudah
dilarang di banyak negara lain, termasuk Belgia, Perancis, Jerman, Swedia,
Austria dan Norwegia.
Sebuah studi menunjukkan bahwa reaksi
hipersensitivitas terjadi pada 15% orang yang mengkonsumsi Allura Red. Dalam
studi itu, 52 peserta yang telah menderita gatal-gatal atau ruam kulit
selama empat minggu atau lebih diikutkan dalam program diet yang sama sekali
tidak mengandung Allura Red dan
makanan lain yang diketahui dapat menyebabkan ruam atau gatal-gatal.
Setelah tiga minggu tidak ada gejala, para peserta kembali diberi makanan yang
mengandung Allura Reddan dimonitor.
Dari pengujian itu, 15% kembali menunjukkan gejala ruam atau gatal-gatal.
ü
Quinoline Yellow
(E104)
Pewarna makanan kuning ini digunakan dalam produk
seperti es krim dan minuman energi. Zat ini sudah dilarang di banyak negara
termasuk Australia, Amerika, Jepang dan Norwegia karena dianggap meningkatkan
risiko hiperaktivitas dan serangan asma
Editor : Farid Nursoba, S.ST (THL-TBPP
Desa Banyuresmi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar