Laman

"Wilujeng Sumping Di Website Resmi BP3K Sukahening" "BP3K Sebagai Gerbang Inovasi Teknologi Pertanian""Rempug Jukung Sauyunan Ngawangun Pertanian Sukahening"

Senin, 23 November 2015

Pengendalian Hama Tikus


Hama Tikus
Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama padi utama di Indonesia, kerusakan yang ditimbulkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim. Tikus menyerang semua stadium tanaman padi, baik vegetatif maupun generatif, sehingga menyebabkan kerugian ekonomis yang berarti. Secara umum, di Indonesia tercatat tidak kurang dari 150 jenis tikus, sekitar 50 jenis di antaranya termasuk genera Bandicota, Rattus, dan Mus. Enam jenis tikus lebih banyak dikenal karena merugikan manusia di luar rumah, yaitu: tikus sawah (R. argentiventer), tikus wirok (B. indica), tikus hutan/belukar (R. tiomanicus), tikus semak/padang (R. exulans), mencit sawah (Mus caroli), dan tikus riul (R. norvegicus). Tiga jenis lainnya diketahui menjadi hama di dalam rumah, yaitu tikus rumah (R. rattus diardi), mencit rumah (M. musculus dan M. cervicolor).

Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tikus sawah diperkirakan dapat mencapai 200.000 – 300.000 ton per tahun. Usaha pengendalian yang intensif sering terlambat, karena baru dilaksanakan setelah terjadi kerusakan yang luas dan berat. Oleh karena itu, usaha pengendalian tikus perlu memperhatikan perilaku dan habitatnya, sehingga dapat mencapai sasaran. Tinggi rendahnya tingkat kerusakan tergantung pada stadium tanaman dan tinggi rendahnya populasi tikus yang ada.

Morfologi
Tikus sawah mirip dengan tikus rumah, tetapi telinga dan ekornya lebih pendek. Ekor biasanya lebih pendek dari pada panjang kepala-badan, dengan rasio 96,4 ± 1,3%, telinga lebih pendek dari pada telinga tikus rumah. Panjang kepala-badan 170-208 mm dan tungkai belakang 34-43 mm. Tubuh bagian atas berwarna coklat kekuningan dengan bercak hitam pada rambut, sehingga berkesan berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, perut berwarna putih dan sisanya putih kelabu. Tikus betina mempunyai 12 puting susu.


Habitat dan Perilaku
Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Daya adaptasi tinggi, sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Mereka suka menggali liang untuk berlindung dan berkembang biak, membuat terowongan atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi.
Tikus sawah termasuk omnivora (pemakan segala jenis makanan). Apabila makanan berlimpah mereka cenderung memilih yang paling disukai, yaitu biji-bijian/padi yang tersedia di sawah. Pada kondisi bera, tikus sering berada di pemukiman, mereka menyerang semua stadium tanaman padi, sejak pesemaian sampai panen. Tingkat kerusakan yang diakibatkan bervariasi tergantung stadium tanaman.

Perkembangan
Jumlah anak tikus per induk beragam antara 6-18 ekor, dengan rata-rata 10,8 ekor pada musim kemarau dan 10,7 ekor pada musim hujan, untuk peranakan pertama. Peranakan ke 2-6 adalah 6-8 ekor, dengan rata-rata 7 ekor. Peranakan ke 7 dan seterusnya, jumlah anak menurun mencapai 2-6 ekor, dengan rata-rata 4 ekor. Interval antar peranakan adalah 30-50 hari dalam kondisi normal.

Pada satu musim tanam, tikus betina dapat melahirkan 2-3 kali, sehingga satu induk mampu menghasilkan sampai 100 ekor tikus, sehingga populasi akan bertambah cepat meningkatnya. Tikus betina cepat dewasa, pada umur 28 hari sudah siap kawin dan dapat bunting. Masa kehamilan mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21 hari. Tikus jantan lebih lambat menjadi dewasa daripada betinanya, pada umur 60 hari siap kawin. Lama hidup tikus sekitar 8 bulan.
Sarang tikus pada pertanaman padi masa vegetatif cenderung pendek dan dangkal, sedangkan pada masa generatif lebih dalam, bercabang, dan luas karena mereka sudah mulai bunting dan akan melahirkan anak. Selama awal musim perkembangbiakan, tikus hidup masih soliter, yaitu satu jantan dan satu betina, tetapi pada musim kopulasi banyak dijumpai beberapa pasangan dalam satu liang/sarang. Dengan menggunakan Radio Tracking System, pada fase vegetatif dan awal generatif tanaman, tikus bergerak mencapai 100-200 m dari sarang, sedangkan pada fase generatif tikus bergerak lebih pendek dan sempit, yaitu 50-125 m dari sarang.

Pengendalian
Tikus sawah sampai saat ini masih menjadi hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Sebaran populasinya cukup luas dari dataran rendah sampai pegunungan, dari areal sawah sampai di gudang/perumahan. Kerusakan padi akibat serangan tikus yang mencapai ribuan hektar dilaporkan pertama kali pada tahun 1915 di Cirebon, Jawa Barat, selanjutnya tiap tahun terjadi peningkatan kerusakan tanaman padi dengan intensitas serangan sebesar 35%. Pengendalian yang sesuai untuk saat sekarang adalah pengendalian hama tikus terpadu, dengan komponen pengendalian kultur teknis, hayati, mekanis, dan kimiawi.

Kultur teknik Tanam serempak.
Penanaman serempak tidak harus bersamaan waktunya, jarak antara tanam awal dan akhir maksimal 10 hari. Dengan demikian diharapkan pada hamparan sawah yang luas kondisi pertumbuhan tanaman relatif seragam. Apabila varietas yang ditanam petani berbeda, maka varietas padi yang berumur panjang sebaiknya ditanam lebih dahulu, sehingga minimal dapat mencapai panen yang serempak.
Apabila penanaman serempak, maka puncak populasi tikus menjadi singkat, yaitu ketika masa generatif dan pakan tersedia, pada saat itu tikus sudah menempati areal persawahan. Kepadatan populasi mulai turun pada 6-7 minggu setelah panen, tikus mulai meninggalkan sawah dan kembali ke tempat persembunyiannya. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perkembangan tikus, dan sangat berlainan apabila penanaman padi tidak serempak yang memberi peluang tikus untuk lama tinggal di persawahan karena pakan tersedia.
Meminimalkan tempat persembunyian/tempat tinggal. Ukuran pematang sebaiknya mempunyai ketinggian sekitar 15 cm dan lebar 20 cm, pematang seperti ini tidak mendukung tikus dalam membuat sarang di sawah, sebab kurang lebar dan kurang tinggi bagi mereka, sehingga tidak nyaman. Mereka memerlukan paling tidak tinggi dan lebar pematang sekitar 30 cm. Lahan yang dibiarkan tidak diolah juga menjadi sarang yang nyaman bagi tikus untuk sembunyi. Oleh karena itu pengolahan tanah akan mempersempit peluang menjadi tempat persembunyian mereka. 

·         Sanitasi. Kebersihan sawah dan lingkungan sekitar sawah penting untuk diperhatikan, agar tikus tidak bersarang disana. Menjelang panen, populasi tikus meningkat dan mereka bersembunyi di sekitar sawah, maka tanah yang tidak ditanami akan tidak disukai mereka apabila di genangi air.
·         Hayati, Pemanfaatan musuh alami tikus diharapkan dapat mengurangi populasi tikus. Ular sawah sebenarnya menjadi pemangsa tikus yang handal, hanya sekarang populasinya di alam turun drastis karena ditangkap dan mungkin lingkungan tidak cocok lagi. Burung hantu (Tito alba) kini mulai diberdayakan di beberapa daerah untuk ikut menanggulangi hama tikus. Musang sawah juga memangsa tikus, namun sekarang sangat sedikit populasinya dan sulit dijumpai di sawah.
·         Mekanis, Pagar plastik dan perangkap sistem bubu. Pesemaian merupakan awal tersedianya pakan tikus di lahan sawah, sehingga menarik tikus untuk datang. Pemasangan pagar plastik yang dikombinasikan dengan perangkap tikus dari bubu dianggap merupakan tindakan dini menanggulangi tikus sebelum populasinya meningkat. Cara ini akan lebih efektif apabila petani membuat pesemaian secara berkelompok dalam beberapa tempat saja, sehingga jumlah perangkap dan plastik sedikit.

·         Pemasangan perangkap diletakkan pada sudut pagar plastik, pada sudut tersebut plastik dilubangi sebesar ukuran lubang pintu perangkap. Sekitar perangkap diberi rumput untuk mengelabuhi tikus, sehingga mereka tidak menyadari kalau sudah masuk perangkap. Pagar plastik menggunakan plastik dengan lebar 50-75 cm dan panjang secukupnya. Penggunaan pagar plastik tidak hanya untuk pesemaian, tetapi dapat juga untuk lahan sawah dengan tujuan melokalisir tempat masuknya tikus, yaitu mengarahkan ke lubang perangkap. Gropyokan. Cara ini banyak dilaksanakan di pedesaan, dengan memburu tikus di sawah. Seringkali dilibatkan anjing pelacak tikus dan jarring perangkap. Hasil gropyokan dapat dalam jumlah banyak tangkapan, apabila menyertakan banyak petani secara serempak di areal luas.
·         Kimiawi, Umpan beracun. Cara pengendalian kimiawi dilakukan dengan menggunakan rodentisida, berbahan aktif broditakum, bio madiolon, belerang, dan lainnya. Dan fumigasi lubang aktif / liang umumnya pelaksanaan pengendalian ini dengan memberikan umpan beracun kepada tikus. Namun sebelum dipasang umpan, perlu pemantauan tikus apakah populasinya tinggi atau belum. Tiap petakan sawah diberi sekitar 10 umpan, biasanya disediakan dulu umpan yang tidak beracun guna mengelabuhi tikus untuk tetap memakan umpan. Baru setelah beberapa lama, umpan beracun dipasang di sawah.
·         Fumigasi lubang aktif / liang. Tindakan ini manjur dilakukan saat padi pada stadium awal keluar malai dan pemasakan, karena merupakan stadium perkembangan optimal tikus, yaitu induk dan anaknya berada dalam liang. Pengemposan sarang perlu diperhatikan ukuran lubang dan diusahakan agar tidak terjadi kebocoran dan asap maksimal mencapai sasaran. Pengemposan dapat dilanjutkan dengan pembongkaran sarang tikus, untuk memaksimalkan hasil pengendalian.

·         Tikus yang telah terbunuh/tertangkap hanya merupakan indikasi turunnya populasi. Yang perlu diwaspadai adalah populasi tikus yang masih hidup, karena akan terus berkembang biak dengan pesat selama musim tanam padi. Disamping itu monitoring keberadaan dan aktivitas tikus sangat penting diketahui sejak dini agar usaha pengendalian dapat berhasil. Cara monitoring antara lain dengan melihat lubang aktif, jejak tikus, jalur jalan tikus, kotoran atau gejala kerusakan tanaman. Dan tidak kalah pentingnya adalah mewaspadai terhadap kemungkinan terjadinya migrasi (perpindahan tikus) secara tiba-tiba dari daerah lain dalam jumlah yang besar.

·         


Sumber Berita: http://tanamanpangan.deptan.go.id




editor : Adis Sulaeman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar