Hama Tikus
Tikus sawah (Rattus argentiventer)
merupakan hama padi utama di Indonesia, kerusakan yang ditimbulkan cukup luas
dan hampir terjadi setiap musim. Tikus menyerang semua stadium tanaman padi,
baik vegetatif maupun generatif, sehingga menyebabkan kerugian ekonomis yang
berarti. Secara umum, di Indonesia tercatat tidak kurang dari 150 jenis tikus,
sekitar 50 jenis di antaranya termasuk genera Bandicota, Rattus, dan Mus. Enam
jenis tikus lebih banyak dikenal karena merugikan manusia di luar rumah, yaitu:
tikus sawah (R. argentiventer), tikus wirok (B. indica), tikus hutan/belukar
(R. tiomanicus), tikus semak/padang (R. exulans), mencit sawah (Mus caroli),
dan tikus riul (R. norvegicus). Tiga jenis lainnya diketahui menjadi hama di
dalam rumah, yaitu tikus rumah (R. rattus diardi), mencit rumah (M. musculus
dan M. cervicolor).
Di Indonesia, kehilangan hasil akibat
serangan tikus sawah diperkirakan dapat mencapai 200.000 – 300.000 ton per
tahun. Usaha pengendalian yang intensif sering terlambat, karena baru dilaksanakan
setelah terjadi kerusakan yang luas dan berat. Oleh karena itu, usaha
pengendalian tikus perlu memperhatikan perilaku dan habitatnya, sehingga dapat
mencapai sasaran. Tinggi rendahnya tingkat kerusakan tergantung pada stadium
tanaman dan tinggi rendahnya populasi tikus yang ada.
Morfologi
Tikus sawah mirip dengan tikus rumah,
tetapi telinga dan ekornya lebih pendek. Ekor biasanya lebih pendek dari pada
panjang kepala-badan, dengan rasio 96,4 ± 1,3%, telinga lebih pendek dari pada
telinga tikus rumah. Panjang kepala-badan 170-208 mm dan tungkai belakang 34-43
mm. Tubuh bagian atas berwarna coklat kekuningan dengan bercak hitam pada
rambut, sehingga berkesan berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, perut berwarna
putih dan sisanya putih kelabu. Tikus betina mempunyai 12 puting susu.
Habitat dan Perilaku
Tikus sawah sebagian besar tinggal di
persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Daya adaptasi tinggi, sehingga mudah
tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Mereka suka menggali liang untuk
berlindung dan berkembang biak, membuat terowongan atau jalur sepanjang
pematang dan tanggul irigasi.
Tikus sawah termasuk omnivora (pemakan
segala jenis makanan). Apabila makanan berlimpah mereka cenderung memilih yang
paling disukai, yaitu biji-bijian/padi yang tersedia di sawah. Pada kondisi
bera, tikus sering berada di pemukiman, mereka menyerang semua stadium tanaman
padi, sejak pesemaian sampai panen. Tingkat kerusakan yang diakibatkan
bervariasi tergantung stadium tanaman.
Perkembangan
Jumlah anak tikus per induk beragam antara
6-18 ekor, dengan rata-rata 10,8 ekor pada musim kemarau dan 10,7 ekor pada
musim hujan, untuk peranakan pertama. Peranakan ke 2-6 adalah 6-8 ekor, dengan
rata-rata 7 ekor. Peranakan ke 7 dan seterusnya, jumlah anak menurun mencapai 2-6
ekor, dengan rata-rata 4 ekor. Interval antar peranakan adalah 30-50 hari dalam
kondisi normal.
Pada satu musim tanam, tikus betina dapat
melahirkan 2-3 kali, sehingga satu induk mampu menghasilkan sampai 100 ekor
tikus, sehingga populasi akan bertambah cepat meningkatnya. Tikus betina cepat
dewasa, pada umur 28 hari sudah siap kawin dan dapat bunting. Masa kehamilan
mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21 hari. Tikus jantan lebih lambat
menjadi dewasa daripada betinanya, pada umur 60 hari siap kawin. Lama hidup
tikus sekitar 8 bulan.
Sarang tikus pada pertanaman padi masa
vegetatif cenderung pendek dan dangkal, sedangkan pada masa generatif lebih
dalam, bercabang, dan luas karena mereka sudah mulai bunting dan akan
melahirkan anak. Selama awal musim perkembangbiakan, tikus hidup masih soliter,
yaitu satu jantan dan satu betina, tetapi pada musim kopulasi banyak dijumpai
beberapa pasangan dalam satu liang/sarang. Dengan menggunakan Radio Tracking
System, pada fase vegetatif dan awal generatif tanaman, tikus bergerak mencapai
100-200 m dari sarang, sedangkan pada fase generatif tikus bergerak lebih
pendek dan sempit, yaitu 50-125 m dari sarang.
Pengendalian
Tikus sawah sampai saat ini masih menjadi
hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Sebaran populasinya cukup luas
dari dataran rendah sampai pegunungan, dari areal sawah sampai di
gudang/perumahan. Kerusakan padi akibat serangan tikus yang mencapai ribuan
hektar dilaporkan pertama kali pada tahun 1915 di Cirebon, Jawa Barat,
selanjutnya tiap tahun terjadi peningkatan kerusakan tanaman padi dengan
intensitas serangan sebesar 35%. Pengendalian yang sesuai untuk saat sekarang
adalah pengendalian hama tikus terpadu, dengan komponen pengendalian kultur
teknis, hayati, mekanis, dan kimiawi.
Kultur teknik Tanam
serempak.
Penanaman serempak tidak harus bersamaan
waktunya, jarak antara tanam awal dan akhir maksimal 10 hari. Dengan demikian
diharapkan pada hamparan sawah yang luas kondisi pertumbuhan tanaman relatif
seragam. Apabila varietas yang ditanam petani berbeda, maka varietas padi yang
berumur panjang sebaiknya ditanam lebih dahulu, sehingga minimal dapat mencapai
panen yang serempak.
Apabila penanaman serempak, maka puncak
populasi tikus menjadi singkat, yaitu ketika masa generatif dan pakan tersedia,
pada saat itu tikus sudah menempati areal persawahan. Kepadatan populasi mulai
turun pada 6-7 minggu setelah panen, tikus mulai meninggalkan sawah dan kembali
ke tempat persembunyiannya. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi perkembangan
tikus, dan sangat berlainan apabila penanaman padi tidak serempak yang memberi
peluang tikus untuk lama tinggal di persawahan karena pakan tersedia.
Meminimalkan tempat persembunyian/tempat
tinggal. Ukuran pematang sebaiknya mempunyai ketinggian sekitar 15 cm dan lebar
20 cm, pematang seperti ini tidak mendukung tikus dalam membuat sarang di
sawah, sebab kurang lebar dan kurang tinggi bagi mereka, sehingga tidak nyaman.
Mereka memerlukan paling tidak tinggi dan lebar pematang sekitar 30 cm. Lahan
yang dibiarkan tidak diolah juga menjadi sarang yang nyaman bagi tikus untuk
sembunyi. Oleh karena itu pengolahan tanah akan mempersempit peluang menjadi
tempat persembunyian mereka.
·
Sanitasi. Kebersihan sawah dan lingkungan sekitar sawah penting untuk
diperhatikan, agar tikus tidak bersarang disana. Menjelang panen, populasi
tikus meningkat dan mereka bersembunyi di sekitar sawah, maka tanah yang tidak
ditanami akan tidak disukai mereka apabila di genangi air.
·
Hayati, Pemanfaatan musuh alami tikus diharapkan dapat mengurangi populasi
tikus. Ular sawah sebenarnya menjadi pemangsa tikus yang handal, hanya sekarang
populasinya di alam turun drastis karena ditangkap dan mungkin lingkungan tidak
cocok lagi. Burung hantu (Tito alba) kini mulai diberdayakan di beberapa daerah
untuk ikut menanggulangi hama tikus. Musang sawah juga memangsa tikus, namun
sekarang sangat sedikit populasinya dan sulit dijumpai di sawah.
·
Mekanis, Pagar plastik dan perangkap sistem bubu. Pesemaian merupakan awal
tersedianya pakan tikus di lahan sawah, sehingga menarik tikus untuk datang.
Pemasangan pagar plastik yang dikombinasikan dengan perangkap tikus dari bubu
dianggap merupakan tindakan dini menanggulangi tikus sebelum populasinya
meningkat. Cara ini akan lebih efektif apabila petani membuat pesemaian secara
berkelompok dalam beberapa tempat saja, sehingga jumlah perangkap dan plastik
sedikit.
·
Pemasangan perangkap diletakkan pada sudut pagar plastik, pada sudut
tersebut plastik dilubangi sebesar ukuran lubang pintu perangkap. Sekitar
perangkap diberi rumput untuk mengelabuhi tikus, sehingga mereka tidak
menyadari kalau sudah masuk perangkap. Pagar plastik menggunakan plastik dengan
lebar 50-75 cm dan panjang secukupnya. Penggunaan pagar plastik tidak hanya
untuk pesemaian, tetapi dapat juga untuk lahan sawah dengan tujuan melokalisir
tempat masuknya tikus, yaitu mengarahkan ke lubang perangkap. Gropyokan. Cara
ini banyak dilaksanakan di pedesaan, dengan memburu tikus di sawah. Seringkali
dilibatkan anjing pelacak tikus dan jarring perangkap. Hasil gropyokan dapat
dalam jumlah banyak tangkapan, apabila menyertakan banyak petani secara
serempak di areal luas.
·
Kimiawi, Umpan beracun. Cara pengendalian kimiawi dilakukan dengan
menggunakan rodentisida, berbahan aktif broditakum, bio madiolon, belerang, dan
lainnya. Dan fumigasi lubang aktif / liang umumnya pelaksanaan pengendalian ini
dengan memberikan umpan beracun kepada tikus. Namun sebelum dipasang umpan,
perlu pemantauan tikus apakah populasinya tinggi atau belum. Tiap petakan sawah
diberi sekitar 10 umpan, biasanya disediakan dulu umpan yang tidak beracun guna
mengelabuhi tikus untuk tetap memakan umpan. Baru setelah beberapa lama, umpan beracun
dipasang di sawah.
·
Fumigasi lubang aktif / liang. Tindakan ini manjur dilakukan saat padi pada
stadium awal keluar malai dan pemasakan, karena merupakan stadium perkembangan
optimal tikus, yaitu induk dan anaknya berada dalam liang. Pengemposan sarang
perlu diperhatikan ukuran lubang dan diusahakan agar tidak terjadi kebocoran
dan asap maksimal mencapai sasaran. Pengemposan dapat dilanjutkan dengan
pembongkaran sarang tikus, untuk memaksimalkan hasil pengendalian.
·
Tikus yang telah terbunuh/tertangkap hanya merupakan indikasi turunnya
populasi. Yang perlu diwaspadai adalah populasi tikus yang masih hidup, karena
akan terus berkembang biak dengan pesat selama musim tanam padi. Disamping itu
monitoring keberadaan dan aktivitas tikus sangat penting diketahui sejak dini
agar usaha pengendalian dapat berhasil. Cara monitoring antara lain dengan
melihat lubang aktif, jejak tikus, jalur jalan tikus, kotoran atau gejala
kerusakan tanaman. Dan tidak kalah pentingnya adalah mewaspadai terhadap
kemungkinan terjadinya migrasi (perpindahan tikus) secara tiba-tiba dari daerah
lain dalam jumlah yang besar.
·
Sumber Berita: http://tanamanpangan.deptan.go.id
editor : Adis Sulaeman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar